“Hah?
Gila lu!”Hendro kaget.
“Kalo
gue gila, proposal ini gak akan diterima sama kampus,” jawabku.
“Tapi
gue gak mau berpartisipasi dalam pembuatan karya ilmiah gila lu itu. Gue gak
mao kepala gue ditombak sama orang-orang pedalaman Papua.”Hendro menjadi orang lebay.
“Inget
gak kita pernah misinangkep uler idup-idup? Trus kita dapet apresiasi dari
temen sama dosen. Pokoknya lu harus ikut,
lu temen gua paling deket.”
“Akh
udah gue bilang berkali-kali, jangan ingetin gue sama misi paling gila lu itu!
Kayanya gue sering ngelak dan percuma.Yaude
gue ikut lu dah!” Hendro dengan muka terpaksa ikut misiku.
“Whi,
gila lu! Akhirnya ikut juga.”Aku membalikkan kata Hendro.
“Kalo
gue gila,gue gak bakal ikut lu!” Hendro
membalikkan kataku.
“Oke.
Pengumuman, nanti malam kita akan mengadakan rapat, bertempat di kosan Hendro,
sebelah kosan Heri, yaitu kosan saya sendiri. Mengingat perjalanan ke Papua
tinggal 2 minggu lagi, maka rapat akan dilaksanakan lama. Selesai, ada yang
ingin bertanya?”Aku bermaksud bercanda.
“Saya
ingin bertanya, kita kan cuma berdua, kenapa anda tidak menambah teman biar
anda tidak Maaattti disana?”Hendro kesal dengan sedikit ledekan.
“Oke
simple, Adam saja yang hidup di bumi sendirian, bisa bertahan hingga akhirnya ketemu Hawa. Mengapa kita tidak bisa walaupun berdua?” jawabku
santai.
“Emang
lu udah kayak musuh gue. Aneh emang, musuh gue paling deket!”Hendro kesal, aku
hanya tersenyum sambil menahan tawa.
Aku
dan Hendro telah berteman lama.Sebelum kami lahir, ibu kami telah berteman baik
sebelumnya. Dan takdir memanggil kami ke dunia di hari yang sama dan rumah
sakit yang sama. Itu alasan mengapa ibu kami sepakat memberikan namaku Heri dan
jugamusuh terdekatku Hendro. Yang
peting aku tidak boleh menyalahkan takdir mengapa kami lahir bersamaan
Entah apa kami meneruskan sifat ibu kami, tapikami
tidak pernah melihat ibu kami berselisih dari balita, SD, SMP, SMA, hingga
kuliah..Sikap yang lebih dari cukup untuk membuat geram orang tua kami, guru
kami, dan terkadang dosen.Perselisihan yang cukup sengit.
Kami
akan melakukan penelitian suku pedalaman Papua 2 minggu lagi. Kami akanmeneliti
teknik mengukir emas tradisional suku Papua. Dan hasil penelitian tersebut akan
dijadikan karya tulis ilmiah. Itulah mengapa Hendro mengatakan aku gila.
“Nama
suku yang bakal kita temuin disana adalah suku Kapla.Nih gua punya buku kamus
kecil Papua. Lu pelajarin.”Aku melempar kamus ke Hendro.
“Males
banget.Kenapa gak lu aje?”Hendro mengeluh.
“Udah
lu pelajarin aja, gue lagi preparin barang-barang untuk dibawa.”
“Haha.Apaan
tuh preparin? Sok Bahasa Inggris, Bahasa Inggris lu masih belibet. Sama belibetnya
sama misi sok suci ini.”Hendro mencoba mengejekku.
“Yakin
aja sama gue. Ini misi bakalan misi yang paling berhasil, ni misi paling kece, lain
daripada misi yang lain.” Aku meyakinkan Hendro.
“Bodo
amet.Yang penting gue maen laptop dulu ya sebentar.Lu preparin aja dulu
barang-barang.”
“Yaudah,
terserah lu!” Aku kesal dengan sikap acuh Hendro.
Tiga
jam kemudian di tempat kost Hendro, sebelah tempat kostku.
“Ri
bangun ri, dah selesai blum beres-beres barangnya? Ni maen laptop gue ngasilin
poster liat ni.”Hendro membangunkanku dengan memukul kepalaku.
“Rese
banget dah, lu ngapain buat poster segala.Pengen pamer sama orang Papua lu? Itu
KSS maksudnya apa?”Hendro menamakan perjalanan kami adalah misi KSS.Sangat aneh
ketika masuk ke telingaku.
“Liat
donk nih dibawahnya, KSS singkatan dari Kapla Start Sensasion.”
“Alah
lu gak jelas banget singkatanya, udah bahasa Inggrisnya salah lagi.”
“Yang
mana yang salah?”
“Itu
tuh Sensasion.Harusnya pake t jadi sensation.Sok Bahasa Inggris, Bahasa Inggris
lu masih belibet. Sama belibetnya sama muka lu! Hahaha.”Aku mengejek balik
dengan kalimat Hendro.
“Yaelah
udah, gitu ajja dibahas. Yang penting, ntar lu liat, gue jadi pahlawan. Bakal
ngelindungin lu dari apa-apa. Lu bakalan hutang budi sama gue!”
Setelah
dua minggu terlewati dan kami telah di hutan Papua. Lalu Hendro berkata, “Ri,
anterin gue kencing dulu yok.“Hendro terlihat ketakutan.
“Haha,
bilang aja lu takut kan.?”
“Ude
malem, bahaya kalo jalan di hutan
sendiri,” Hendro mengelak.
“Manja
lu, yaudah yok jangan lama ya.”
Aku
menjadi bodyguardnya Hendro di saat
dia buang air kecil.Dia buang air sembarangan di pohon. Tentu saja, aku menghadap
ke belakang sambil melakukanhobi kami, yaitu berselisih
walaupun disaat keadaan buang air ,di
hutan Papua dan malam hari sekalipun.
“Ati-ati.
Kalo buang air jangan lupa minta izin dulu sama penunggunya.” Aku memulai
perselisihan.
“Ya
elah, masih percaya sama yang begituan!”Hendro meneruskan.
“Gue
sumpahin lu di tangkep sama penunggunya.”
“Amiiin.”
“Dipergat
dan diiket.”
“Amiiin.”
“Dan
Palalu jadi taruhaya.”
“Am…”
Srottt!
Tiba-tiba ada tombak menusuk pohon . Tombak tersebut berada sekitar 10 cm di
depan mata Hendro. Kami terdiam beberapa detik, lalu kami mencoba untuk
lari.Tapi bergerombolan orang dengan baju “khas” suku Papua menghadang kami,
lalu mengepung kami dengan persenjataan lengkap.Kami ditangkap oleh
mereka.Tangan kami diikat.Perlengkapan kami dibawa oleh mereka.Kami dibawa ke
suatu tempat.Entah kami ingin dibawa kemana.
Dan
tentunya penyebab utama mengapa kami ditangkap adalah Hendro. Tentu saja,
Hendro! Dia meminta aku mengantarkanya untuk buang air tanpa hafal bahasa Papua
yang akusuruh hafalkan.Dan kamipun berselisih kembali.
“Untung
ajja tadi ngomong aminya baru setengah ya.”Aku menyindir Hendro.
“Iya
nih, doa lu dikabulin semua. Hebat lu! Gue kira penunggunya makhluk halus, eh
tau-taunya orang.”Hendro tak mau kalah.
“Lu
liat nanti, gue bakal jadi pahlawan yang bakal ngelidungi lu dari apa-apa.Lu
bakal hutang budi sama gue!”Aku menyindir Hendro kembali dengan kalimat yang
dia utarakan waktu itu.
“Gimana
jadi pahlawan?Bahasa Papua aja gak bisa.Mau gimana nih nasib kita?”Hendro
kesal.
“Tenang,
gue punya ide nih. Keren pokoknya.Dan sangat gampang dilaksanakan.Gak perlu
berkeringet.”
“Apa
tuh?Yaudah langsung laksanain.”
“Sekarang
pejamkan mata lu. Kita berdoa dulu oke. Aminkan doa gue. Semoga kita bisa lepas
dari sini beserta barang-barang.”Aku bermaksud berdoa agar kami lepas.
“Amiiin.”
“Semoga
kita menemukan suku Kapla untuk belajar teknik mengukir emas.”
“Amiiin.”
“Oke
selesai.”
“Udah?
Terus rencana lu apa?” Hendro bertanya sambil kebingungan.
“Udah
itu aja. Kita berdoa ajja semoga doa
yang tadi terkabul.” Aku berkata sambil mengeluarkan senjata utama dalam ledekan, yaitu senyum
manis.
Muka
Hendro terlihat masam.Mukanya terihat seperti orang menahan buang air besar,
diam dan mukanya berwarna merah.Tapi kalau dibilang gejalanya seperti ibu-ibu ingin
melahirkan seperti adegan yang sering mucncul di sinetron TV favorit ibu-ibu
juga bisa.Tangannya mengepal disertai keringat yang membasahi seluruh
badanya.Itulah yang kulihat dan terlintas di pikiranku.Lalu aku meneruskan
ledekanku.
“Ayo
ndro.Tahan nafass, dorong.Tahan nafass, dorong.Dikit lagi.”Aku meniru kata-kata
dokter kandungan di sinetron yang biasa ditonton ibuku.
“Akh
tuollloll luh! Kita disini lagi diculik! Make becanda segala!” Hendro marah dengan
cara teriak sambil mengeluarkan kata yang harusnya disensor. Padahal aku sudah
menyuruh Hendro untuk bicara secara pelan-pelan.
“Lah
siapa tau doanya dikabulkan. Tadi aja doa kita aja dikabuli. Padahal yang
aminin lagi kencing.”Aku menghelak serangan Hendro dengan pedang di mulutku.
“Sumpah,
lu emank….”
“Hop!”Orang
Papua tersebut menggertak kami.
Kami
tidak tahu apa yang di katakan. Mereka terlihat marah.Mereka menganggap enyahan
kami sebagai sinyal untuk kabur.Padahal kami sedang melakukan hobi kami sebagai
musuh dekat.Mereka menjadi lebih perhatian dengan kami.Padahal yang kami butuh
adalah sifat acuh mereka.Doayangbelum dikabulkan.
Puluhan
kilo jalan yang kami tempuh, lewati rintangan demi menemukan suku.Entah kami
mau dibawa kemana.Kami tetap berjalan, walau habis terang.Kami tersesat dan
mulai tak tahu arah jalan pulang.Sungguh aku tak mengerti ini semua harus
terjadi.Apakah mungkin, badai pasti berlalu?Mungkin kami coba bertanya pada
rumput yang bergoyang.
Kami
sampai pada suatu tempat. Kami mendapat sambutan perhatian orang-orang sekitar. Hening,
orang-orang menatap kami sinis.Kami dibawa ke suatu tempat.Lumayan gelap walau
ada obor menyala.
Kami
dibawa kepada seseorang.Dia duduk dengan muka yang cukup menakutkan.Dia seperti
memakai mahkota di kepalanya.Sepertinya dia adalah kepala suku setempat.Orang
Papua membisikkan sesuatu ke telinga kepala suku tersebut.Kami diperintahkan
untuk berlutut. Aku hanya bisa berdoa dengan wajah penuh tanya.
“Apa
mau kau datang kamari?”Kepala suku berbicara lalu berdiri mendekati kami
berdua.Aku kaget dengan mata menajam dan menghirup nafas yang cukup dalam
ketika aku tahu kepala suku tersebut bisa berbicara bahasa Indonesia. Aku
berkata,”Kami datang kesini dengan penuh hormat. Kami sangat tertarik belajar
budaya Papua.”
“Punya
hormat apa kau. Kencing saja sembarangan!Setiap orang yang merusak tanah kami,
maka potong leher.Beta sudah tetapkan itu!”Kepala suku menatap tajam wajah
kami.Malam yang terasa panas ketika dia mengatakan hal itu.
“Tuan
yang saya sayangi.Aku mohon maafkan kami.Lagipula aku tidak salah.Yang kencing
sembarangan adalah teman di sebelah saya.”Aku berkata spontan dengan
tangan yangmenunjuk Hendro yang berada
di sebelahku.
Hendro
kaget dipenuhi keringat dingin di tubuhnya.Dia melihatku dan mendekat kepadaku.
Dia berkata,”Apa-apaan luh! Bukanya bantu gue. Gak mau lagi gue ikut misi lu!”
“Sory
gua kan reflek ngomongnya.Lu harusnya tau lah kalo gua gampag reflek kalo agak
takut.Mulut luh bau naga, gak gosok gigi ya?”
“Wah
sialan. Kalo udah pergi gue gak bakal…”
“Stop!”Kepala
suku menghentikan perselisihan kami.”Maaf beta kasih.Tapi kau-kau harus sungguh
ikut adat-adat kami dengan betul!” lanjutnya.
“Oh,
terima kasih tuan.”Hendro menarik nafas tanda lega.
“Tuh
trik gue berhasil.”Aku membisikkan ke telinga Hendro. Aku bertanya kepada
kepala suku,”Tuan, saya dengan senang hati ikut budaya tuan. Tapi, apakah betul
tuan yang memimpin suku Kapla?”
“Nama
memuakkan apa itu!Di sini tidak ada suku yang bernama Kapla!”
“Kalau
begitu kami mohon maaf. Kami tidak bisa ikut budaya tuan. Kami harus belajar
teknik mengukir emas.Itu di mana ya?”
“Itu
suku kami punya.Kami adalah sukuMamayo .Kau cari kami.”
“Oh
gitu.”Aku sedikit senang dengan menghirup nafas.”Yang salahkan bukan saya, tapi
teman saya.”Aku memulai lagi.
“Kau
boleh bebas, sementara dia harus ikut adat yang beta tentukan.”
“Udah
salah nama suku, trus sukanya ngorbanin orang trus. Pantes lu gak berani ngajak
orang lain penelitian.” Hendro membisik kepadaku.
Pagi
buta, Hendro bersiap-siap menjalankan adat istiadat yang ditentukan.Sementara
aku antusias untuk meneliti teknik mengukir emas. Hendro akan dibimbing oleh
anak ketua suku yang juga bisa berinteraksi dengan kami. Sementara aku
dibimbing oleh kepala suku yang bermana Odisson, kupanggil Odie. Odie adalah
nama anjing di film Garfield .Tapi tidak masalah selama Odie senang dipanggil
Odie.
“Ati-ati
ri, perasaan gue gak enak,” teriak Hendro.
Kulihat
kebodohan si Hendro dari jauh.Dia memainkan laptop di sela kesempitan.Aku
membuat teori mengapa dia main laptop.Dia ingin memamerkan laptopnya.Kukatakan
begitu karena Hendro dikerumuni orang-orang. Mungkin mereka akan foto bersama
dan disebarkan di Facebook. Entahlah apa
yang mereka lakukan.
Aku
bersama Odie pergi menuju tempat pengukiran emas.Perjalanan yang disaksikan
oleh pohon-pohon rindang di pulau Papua.Semangatku membara untuk menelitipengukiran
emas.Aku membayangkan jika karya ilmiahku dapat apresiasi tinggi, aku
mengangkat Hendro dari musuh terdekat menjadi sahabat terdekat.
Saat
langkah terakhir perjalanan, mataku berkilau melihat tumpukkan emas di dalam
gudang suku Mamayo.Aku mengubah
pandangan 70º ke kiri. Di sanaterlihat emas yang telah diukir ditata rapih. Aku
membayangkan jika tanda permusuhanku dengan Hendro terukir disana.Tanda
persahabatan yang takkan pernah karatan.
“Hery,
ayo ikuti beta.”Odie mengajakku ke tempat pertama.
Tahap
demi tahan aku perhatikan.Tidak sedikitpun hal penting lupa aku catat dan tidak
lupa ku gelontorkan puluhan pertanyaan.Teknik tradisional tapi dipenuhi unsur seni
yang sangat menawan.Mungkin aku berbakat menjadi penerus “Jejak si Gundul” atau
pemeran “Laptop si Unyil” versi anak kuliahan.
Pagi
buta berubah jadi senja.Perjalanan pulang kami diselingi dengan atraksi
mahatari tenggelam yang kuintip di sela-sela hutan Papua.Satu lagi pemandangan
indah ciptaan Tuhan selain seorang wanita di Universitasku.Sayang, dia bukan di
kampusku.
Sampailah
kami di tempat tinggal sementara.Aku ingin menceritakan semua ini dengan
Hendro.Aku mencarinya.Aku tak percaya Hendro sedang menangis di pinggiran
pohon.Aku begitu geli melihatnya.
“Hahaha.
Ngakak liat lu, napa lu?”Aku mendekatinya dan meledeknya..
“Ah
elah apaan sih lu.” Hendro kaget dan langsung mengusap air matanya.
“Hahaha.Mao
ngeles apa lagi?”
“Gara-gara
lu nih. Lu tau apa adat terakhir? Gue disuruh nangkep uler!”
“Akh
lebay banget deh, gitu aja nangis.”
“Bukan
itu masalahnya.Uler itu pengen nyerang gue.Akhirnya, laptop gue yang susah lagi
masuk ke tas dipake orang suku itu untuk getok ulernya sampe mati, juga
laptopnya.”
“Hahaha.Makanya
ati-ati.Pantes,perasaan gua gak enak. Yaudah, gue janji laptop lu bakal balik. Jangan
nangis, lu kan musuh gue.” Aku menenangkan Hendro.
Setelah
aku telah meneliti teknik mengukir emas ala
suku Mamayo, aku memutuskan untuk belajar adat istiadat sukuMamayo.Setelah aku
menenangkannya, Hendro juga setuju untuk menetap disini lebih lama lagi.
Dari
terang sampai gelap kami lewati selama tujuh kali di pedalaman Papua.Kulihat
wibawa mereka di siang hari dan senyuman mereka di malam hari.Kebersamaan
mereka dengan sesama, dan juga alam membuatku buta.Seakan-akan mereka adalah
satu kesatuan di dalam sistem.Aku percaya, aku terbuat dari tanah dan akan
kembali menyatu dengan tanah.
Seminggu
yang terasa dua hari membuatku tidak bisa lepas dari sini.Bahkan kami seperti
telah melupakan hobi yang aku kira abadi.
Hobi kami disini hanyalah membuat perangkap burung, memanjat pohon,
tertawa bersama saat makan sate ikan di depan api unggun pada malam hari, dan
masih banyak lainnya. Minggu ini Hendro benar-benar menjadi sahabat dekatku, bukan musuh dekatku.
Hari
ini hari terakhir kami bersama di suku Mamayo. Hendro melakukan aktivitasku di
hari pertama, yaitu belajar teknik mengukir emas setelah merengek sambil
berlutut minta izin dengan Odie, manusia galak yang jadi jinak. Sementara aku
berlajan-jalan sambil memanjakkan mata di hutan Papua bersama anggota suku Mamayo.
Udara
membawaku keliling hutan yang rindang.Aku dan mereka berjalan-jalan sambil
bernyanyi lagu khas Papua, Apuse dan juga Naik-naik ke Puncak Gunung walaupun
sebenarnya kami berjalan-jalan di hutan.
Tapi,
pemandangan kurang menyenangkan kulihat dari kejauhan menjelang senja.Beberapa
orang berpakaian modern dilengkapi mobil garuk.Aku mendekat dan mendengar
sedikit percakapan mereka di balik pohon.Mereka ingin menggali emas disini.Para
anggota suku Mamayo ingin menyerang mereka, tapi kuhentikan.Aku memberi kode
untuk balik dan melaporkannya ke Odie.
Aku
berlari hingga sepuluh meter sebelum sampai di rumah, kami ketemu Hendro dan
Odie yang santai sedang jalanpulang. Hendro melihatku lalu dia langsung
menyapa,”Wei ri, gue tadi ngukir emas
dong, ukirannya bagus banget. Trus Odie ngebolehin gue bawa pulang emasnya.”
“Masa,
mana mungkin lu bisa ngukir emas itu dalam sehari.”
“Bisa
lah, kan yang dikasih emas gue cuma segede HP.”
“Cuma
segede HP? Buset itu mah cukup kali tuk beli
laptop baru. Coba gua liat emas ukiran lu?” Aku penasaran ingin lihat
emas ukiran Hendro.
“Gak,
ini emas gak bakal gue jual, trus gak ada yang boleh liat emas ini!”
“Pelit
lu! Eh ngomongin emasnya ntar aja, gua pengen ngomong sama Odie.”
“Kau
tergesa-gesa.Ada apa?”Odie terlihat begitu penasaran.
“Odie
temanku, aku melihat ada manusia membawa senjata .Dia sepertinya ingin emas
dari sini.”Hanya aku dan Hendro yang memanggil kepala suku seperti itu.
“Hah?
Itu tidak bisa dibiarkan.Kita harus siap-siap menyerang besok.Potong leher setiap
orang ingin merusak tanah kami.”Odie langsung pergi ke tempat tinggal dan
mengumumkan bahwa besok pagi untuk siap-siap perang.
Apa
daya, aku tidak bisa membujuknya dengan jalan damai. Yang kulihat hanyalah
tombak, panah, serta beberapa senjata
tradisional mereka siapkan untuk besok. Aku melihat mata Hendro penuh keresahan.Semua
keadaan menjadi terbalik.Semua hal yang indah berubah jadi penuh gelisah.
Pagi
pukul satu, semua orang sedang tidur pulas.Aku bersiap pergi menuju tempat
mereka.Aku ingin kedamaian yang tercipta.Ketika aku ingin keluar pagar, aku
kaget Hendro muncul di balik pohon.
“Ngapain
lu malem-malem disiniMisi KSS udah selesai.Lagipula itu singkatanya
salah.Mendingan lu tidur gih Bukan waktunya berselisih,” aku berkata.
“Gak
usah sok pahlawan.Kalo lu mati gimana?”
“Pahlawan
gak perlu kuat, beribawa dan selalu menang. Kadang dia harus kayak gua,
berprinsip mati adalah takdir.”Kami diam sejenak.
“Yaudah
pahlawan, gue cuma pengen bilang makasih lu udah ngajak gue kesini.Ternyata,
yang hitam gak selamanya buruk, gue belum liat putih di dalamnya.”
Akupun
berjalan melewati Hendro. Lalu aku berkata,”Oya, alesan gue hidup sama mati di
dunia, karena gue dan dunia satu-kesatuan. Gue cuma ingin ngelindungin
paru-paru dunia.Trus satu lagi. Dro,
Happy Birthday.” Aku lari menuju tempat itu di saat kami ulang tahun.Dan
sampailah aku disana.
Aku
bicara dengan dalangnya. Aku mengatakan bahwa akan terjadi perang jika mereka
tidak menghentikan semuanya, tapi mereka menolak. Aku tetap memaksa mereka
untuk menghentikan perbuatan mereka, tapi perdebatan tidak berujung
perdamaian.Justru aku diikat di batang pohon.Situasi semakin membuatku bingung.
“Udah
bos, daripada tambah ngrepotin, lebih baikbunuh aja!”Aku sangat takut.Aku ingin
lepas dari sini, tapi tali ini mengikat begitu kuat.
“Jangan!Jangan
ada yang boleh musuhan sama musuh gue!”Hendro! Mataku seketika melotot melihat
Hendro datang kesini.
“Ngapain
lu kesini, gue bilang misi udah selesai!”
“Gak,
gue kesini cuma pengen bilang.KSS artinya bukan Kapla Start Sensation. Tapi,
Kita, Sahabat, Selamanya!”Hendro tersenyum kepadaku.
Aku
terkejut dengan ucapan Hendro.Hendro mengeluarkan golok dari belakang celana.
Dia berjalan perlahan kepadaku sambil menodongkannya kepada orang lain. Dia melepaskanku
dari ikatan.Hendro telah menepati janjinya waktu itu.
Belum
berakhir, seseorang dari mereka menodongkan pistol.Kami mengangkat tangan
kami.Aku memberi kode kepada Hendro untuk berpencar dan sembunyi di balik pohon.Dor! Pistol berbunyi setelah kami
berpencar.Kami bermain petak umpet pindah dari pohon ke pohon.Beberapa peluru
diluncurkan tapi tidak ada yang mengenai kami dan itu cukup membuat mereka
geram.
“Cukup!Sekarang
kalian tidak bisa ngumpet!”Seseorang teriak.
Kulihat
dibalik pohon, mereka mengambil sesuatu dari mobil garuknya.Dia melemparkan
sesuatu secara sembarangan.Duarr! Mereka
melemparkan bom.Pohon-pohon rusak dan tumbang.Aku memutuskan keluar dari
persembunyian.Tapi Hendro juga keluar dari persembunyian.Hendro yang membawa
golok dilemparkan bom terlebih dahulu.
Duarr! Sebuah pohon jatuh menimpa mobil garuk. Sementara Hendro
berhasil menghindar dari bom, tapi
kakinya tersangkut batang pohon. Sebuah pohon jatuh lagi, dan,”Hendro!”Aku
menghampiri pohon yang meninpa Hendro.
Kulihat
Odie dan teman-teman datang..Para penghancur hutan kabur. Beberapa orang suku Mamayo mengejarnya. Beberapa lagi membantuku mengangkat pohon.Hendro
terlihat lemas dengan kepala yang berlumur darah.
“Udah
Ri, gue kesini cuma pengen kasih hadiah ultah lu nih.” Hendro memberikanku
ukiran emas yang dia buat.Diukir gambar 2 anak kecil sedang berpegang
tangan.Diatasnya terdapat tulisan KSS dan dibawahnya diukir huruf H.
“Jangan
nangis, lu kan musuh gue.” Dengan lemah Hendro mengulang perkataanku.Terasa
sesak dihatiku, ada air mata yang tak bisa kutahan. Aku berkata, ”Dro, maafin
gua. Gua jadi pemimpin selalu nyusahin lu.”
“KSS.Gak
usah ngomong lagi.La ilaha illallah.” Aku tidak percaya.Aku mencoba teriak,
tapi air mata ini cukup untuk mengekspresikannya.
Ada
yang memukul dihatiku. Hatiku hanya bisa berkata,”Sori, gua gak sanggup anterin
lu sampai pintu terakhir dunia dengan kalimat itu. Biar doa gua yang nganterin
lu ke surga.”
Aku
pulang dengan tanda persahabatan yang diukir di emas.Persahabatan yang takkan
pernah karatan. Kubuat karya ilmiah ini tanpa dia, tapi senyum dan kengototanyaakan
tetap ada di hatiku.Karya ilmiah ini menjadi karya ilmiah terbaik.Dan karya
ilmiah ini jadi juara lomba tingkat Nasional.Terima kasih, musuh dan sahabat,
Hendro.
0 komentar:
Posting Komentar