jika menulis adalah sebuah Hobi, maka tak perlu alasan lagi mengapa saya menulis

Senin, 04 Juli 2016

Cerpen: KSS (Kita Sahabat Selamanya)

“Hah? Gila lu!”Hendro kaget.
“Kalo gue gila, proposal ini gak akan diterima sama kampus,” jawabku.
“Tapi gue gak mau berpartisipasi dalam pembuatan karya ilmiah gila lu itu. Gue gak mao kepala gue ditombak sama orang-orang pedalaman Papua.”Hendro menjadi orang lebay.
“Inget gak kita pernah misinangkep uler idup-idup? Trus kita dapet apresiasi dari temen sama dosen. Pokoknya lu  harus ikut, lu temen gua paling deket.”
“Akh udah gue bilang berkali-kali, jangan ingetin gue sama misi paling gila lu itu! Kayanya gue sering ngelak dan percuma.Yaude  gue ikut lu dah!” Hendro dengan muka terpaksa ikut misiku.
“Whi, gila lu! Akhirnya ikut juga.”Aku membalikkan kata Hendro.
“Kalo gue gila,gue  gak bakal ikut lu!” Hendro membalikkan kataku.
“Oke. Pengumuman, nanti malam kita akan mengadakan rapat, bertempat di kosan Hendro, sebelah kosan Heri, yaitu kosan saya sendiri. Mengingat perjalanan ke Papua tinggal 2 minggu lagi, maka rapat akan dilaksanakan lama. Selesai, ada yang ingin bertanya?”Aku bermaksud bercanda.
“Saya ingin bertanya, kita kan cuma berdua, kenapa anda tidak menambah teman biar anda tidak Maaattti disana?”Hendro kesal dengan sedikit ledekan.
“Oke simple, Adam saja yang hidup di bumi sendirian, bisa bertahan  hingga akhirnya ketemu Hawa.  Mengapa kita tidak bisa walaupun berdua?” jawabku santai.
“Emang lu udah kayak musuh gue. Aneh emang, musuh gue paling deket!”Hendro kesal, aku hanya tersenyum sambil menahan tawa.
Aku dan Hendro telah berteman lama.Sebelum kami lahir, ibu kami telah berteman baik sebelumnya. Dan takdir memanggil kami ke dunia di hari yang sama dan rumah sakit yang sama. Itu alasan mengapa ibu kami sepakat memberikan namaku Heri dan jugamusuh terdekatku Hendro. Yang peting aku tidak boleh menyalahkan takdir mengapa kami lahir bersamaan
 Entah apa kami meneruskan sifat ibu kami, tapikami tidak pernah melihat ibu kami berselisih dari balita, SD, SMP, SMA, hingga kuliah..Sikap yang lebih dari cukup untuk membuat geram orang tua kami, guru kami, dan terkadang dosen.Perselisihan yang cukup sengit.
Kami akan melakukan penelitian suku pedalaman Papua 2 minggu lagi. Kami akanmeneliti teknik mengukir emas tradisional suku Papua. Dan hasil penelitian tersebut akan dijadikan karya tulis ilmiah. Itulah mengapa Hendro mengatakan aku gila.
“Nama suku yang bakal kita temuin disana adalah suku Kapla.Nih gua punya buku kamus kecil Papua. Lu pelajarin.”Aku melempar kamus ke Hendro.
“Males banget.Kenapa gak lu aje?”Hendro mengeluh.
“Udah lu pelajarin aja, gue lagi preparin barang-barang untuk dibawa.”
“Haha.Apaan tuh preparin? Sok Bahasa Inggris, Bahasa Inggris lu masih belibet. Sama belibetnya sama misi sok suci ini.”Hendro mencoba mengejekku.
“Yakin aja sama gue. Ini misi bakalan misi yang paling berhasil, ni misi paling kece, lain daripada misi yang lain.” Aku meyakinkan Hendro.
“Bodo amet.Yang penting gue maen laptop dulu ya sebentar.Lu preparin aja dulu barang-barang.”
“Yaudah, terserah lu!” Aku kesal dengan sikap acuh Hendro.
Tiga jam kemudian di tempat kost Hendro, sebelah tempat kostku.
“Ri bangun ri, dah selesai blum beres-beres barangnya? Ni maen laptop gue ngasilin poster liat ni.”Hendro membangunkanku dengan memukul kepalaku.
“Rese banget dah, lu ngapain buat poster segala.Pengen pamer sama orang Papua lu? Itu KSS maksudnya apa?”Hendro menamakan perjalanan kami adalah misi KSS.Sangat aneh ketika masuk ke telingaku.
“Liat donk nih dibawahnya, KSS singkatan dari Kapla Start Sensasion.”
“Alah lu gak jelas banget singkatanya, udah bahasa Inggrisnya salah lagi.”
“Yang mana yang salah?”
“Itu tuh Sensasion.Harusnya pake t jadi sensation.Sok Bahasa Inggris, Bahasa Inggris lu masih belibet. Sama belibetnya sama muka lu! Hahaha.”Aku mengejek balik dengan kalimat Hendro.
“Yaelah udah, gitu ajja dibahas. Yang penting, ntar lu liat, gue jadi pahlawan. Bakal ngelindungin lu dari apa-apa. Lu bakalan hutang budi sama gue!”
Setelah dua minggu terlewati dan kami telah di hutan Papua. Lalu Hendro berkata, “Ri, anterin gue kencing dulu yok.“Hendro terlihat ketakutan.
“Haha, bilang aja lu takut kan.?”
“Ude malem, bahaya kalo  jalan di hutan sendiri,” Hendro mengelak.
“Manja lu, yaudah yok jangan lama ya.”
Aku menjadi bodyguardnya Hendro di saat dia buang air kecil.Dia buang air sembarangan di pohon. Tentu saja, aku menghadap ke belakang sambil  melakukanhobi kami, yaitu berselisih walaupun  disaat keadaan buang air ,di hutan Papua dan malam hari sekalipun.
“Ati-ati. Kalo buang air jangan lupa minta izin dulu sama penunggunya.” Aku memulai perselisihan.
“Ya elah, masih percaya sama yang begituan!”Hendro meneruskan.
“Gue sumpahin lu di tangkep sama penunggunya.”
“Amiiin.”
“Dipergat dan diiket.”
“Amiiin.”
“Dan Palalu jadi taruhaya.”
“Am…”
Srottt! Tiba-tiba ada tombak menusuk pohon . Tombak tersebut berada sekitar 10 cm di depan mata Hendro. Kami terdiam beberapa detik, lalu kami mencoba untuk lari.Tapi bergerombolan orang dengan baju “khas” suku Papua menghadang kami, lalu mengepung kami dengan persenjataan lengkap.Kami ditangkap oleh mereka.Tangan kami diikat.Perlengkapan kami dibawa oleh mereka.Kami dibawa ke suatu tempat.Entah kami ingin dibawa kemana.
Dan tentunya penyebab utama mengapa kami ditangkap adalah Hendro. Tentu saja, Hendro! Dia meminta aku mengantarkanya untuk buang air tanpa hafal bahasa Papua yang akusuruh hafalkan.Dan kamipun berselisih kembali.
“Untung ajja tadi ngomong aminya baru setengah ya.”Aku menyindir Hendro.
“Iya nih, doa lu dikabulin semua. Hebat lu! Gue kira penunggunya makhluk halus, eh tau-taunya orang.”Hendro tak mau kalah.
“Lu liat nanti, gue bakal jadi pahlawan yang bakal ngelidungi lu dari apa-apa.Lu bakal hutang budi sama gue!”Aku menyindir Hendro kembali dengan kalimat yang dia utarakan waktu itu.
“Gimana jadi pahlawan?Bahasa Papua aja gak bisa.Mau gimana nih nasib kita?”Hendro kesal.
“Tenang, gue punya ide nih. Keren pokoknya.Dan sangat gampang dilaksanakan.Gak perlu berkeringet.”
“Apa tuh?Yaudah langsung laksanain.”
“Sekarang pejamkan mata lu. Kita berdoa dulu oke. Aminkan doa gue. Semoga kita bisa lepas dari sini beserta barang-barang.”Aku bermaksud berdoa agar kami lepas.
“Amiiin.”
“Semoga kita menemukan suku Kapla untuk belajar teknik mengukir emas.”
“Amiiin.”
“Oke selesai.”
“Udah? Terus rencana lu apa?” Hendro bertanya sambil kebingungan.
“Udah itu aja. Kita berdoa ajja semoga doa  yang tadi terkabul.” Aku berkata sambil mengeluarkan  senjata utama dalam ledekan, yaitu senyum manis.
Muka Hendro terlihat masam.Mukanya terihat seperti orang menahan buang air besar, diam dan mukanya berwarna merah.Tapi kalau dibilang gejalanya seperti ibu-ibu ingin melahirkan seperti adegan yang sering mucncul di sinetron TV favorit ibu-ibu juga bisa.Tangannya mengepal disertai keringat yang membasahi seluruh badanya.Itulah yang kulihat dan terlintas di pikiranku.Lalu aku meneruskan ledekanku.
“Ayo ndro.Tahan nafass, dorong.Tahan nafass, dorong.Dikit lagi.”Aku meniru kata-kata dokter kandungan di sinetron yang biasa ditonton ibuku.
“Akh tuollloll luh! Kita disini lagi diculik! Make becanda segala!” Hendro marah dengan cara teriak sambil mengeluarkan kata yang harusnya disensor. Padahal aku sudah menyuruh Hendro untuk bicara secara pelan-pelan.
“Lah siapa tau doanya dikabulkan. Tadi aja doa kita aja dikabuli. Padahal yang aminin lagi kencing.”Aku menghelak serangan Hendro dengan pedang di mulutku.
“Sumpah, lu emank….”
“Hop!”Orang Papua tersebut menggertak kami.
Kami tidak tahu apa yang di katakan. Mereka terlihat marah.Mereka menganggap enyahan kami sebagai sinyal untuk kabur.Padahal kami sedang melakukan hobi kami sebagai musuh dekat.Mereka menjadi lebih perhatian dengan kami.Padahal yang kami butuh adalah sifat acuh mereka.Doayangbelum dikabulkan.
Puluhan kilo jalan yang kami tempuh, lewati rintangan demi menemukan suku.Entah kami mau dibawa kemana.Kami tetap berjalan, walau habis terang.Kami tersesat dan mulai tak tahu arah jalan pulang.Sungguh aku tak mengerti ini semua harus terjadi.Apakah mungkin, badai pasti berlalu?Mungkin kami coba bertanya pada rumput yang bergoyang.
Kami sampai pada suatu tempat. Kami mendapat sambutan  perhatian orang-orang sekitar. Hening, orang-orang menatap kami sinis.Kami dibawa ke suatu tempat.Lumayan gelap walau ada obor menyala.
Kami dibawa kepada seseorang.Dia duduk dengan muka yang cukup menakutkan.Dia seperti memakai mahkota di kepalanya.Sepertinya dia adalah kepala suku setempat.Orang Papua membisikkan sesuatu ke telinga kepala suku tersebut.Kami diperintahkan untuk berlutut. Aku hanya bisa berdoa dengan wajah penuh tanya.
“Apa mau kau datang kamari?”Kepala suku berbicara lalu berdiri mendekati kami berdua.Aku kaget dengan mata menajam dan menghirup nafas yang cukup dalam ketika aku tahu kepala suku tersebut bisa berbicara bahasa Indonesia. Aku berkata,”Kami datang kesini dengan penuh hormat. Kami sangat tertarik belajar budaya Papua.”
“Punya hormat apa kau. Kencing saja sembarangan!Setiap orang yang merusak tanah kami, maka potong leher.Beta sudah tetapkan itu!”Kepala suku menatap tajam wajah kami.Malam yang terasa panas ketika dia mengatakan hal itu.
“Tuan yang saya sayangi.Aku mohon maafkan kami.Lagipula aku tidak salah.Yang kencing sembarangan adalah teman di sebelah saya.”Aku berkata spontan dengan tangan  yangmenunjuk Hendro yang berada di sebelahku.
Hendro kaget dipenuhi keringat dingin di tubuhnya.Dia melihatku dan mendekat kepadaku. Dia berkata,”Apa-apaan luh! Bukanya bantu gue. Gak mau lagi gue ikut misi lu!”
“Sory gua kan reflek ngomongnya.Lu harusnya tau lah kalo gua gampag reflek kalo agak takut.Mulut luh bau naga, gak gosok gigi ya?”
“Wah sialan. Kalo udah pergi gue gak bakal…”
“Stop!”Kepala suku menghentikan perselisihan kami.”Maaf beta kasih.Tapi kau-kau harus sungguh ikut adat-adat kami dengan betul!” lanjutnya.
“Oh, terima kasih tuan.”Hendro menarik nafas tanda lega.
“Tuh trik gue berhasil.”Aku membisikkan ke telinga Hendro. Aku bertanya kepada kepala suku,”Tuan, saya dengan senang hati ikut budaya tuan. Tapi, apakah betul tuan yang memimpin suku Kapla?”
“Nama memuakkan apa itu!Di sini tidak ada suku yang bernama Kapla!”
“Kalau begitu kami mohon maaf. Kami tidak bisa ikut budaya tuan. Kami harus belajar teknik mengukir emas.Itu di mana ya?”
“Itu suku kami punya.Kami adalah sukuMamayo .Kau cari kami.”
“Oh gitu.”Aku sedikit senang dengan menghirup nafas.”Yang salahkan bukan saya, tapi teman saya.”Aku memulai lagi.
“Kau boleh bebas, sementara dia harus ikut adat yang beta tentukan.”
“Udah salah nama suku, trus sukanya ngorbanin orang trus. Pantes lu gak berani ngajak orang lain penelitian.” Hendro membisik kepadaku.
Pagi buta, Hendro bersiap-siap menjalankan adat istiadat yang ditentukan.Sementara aku antusias untuk meneliti teknik mengukir emas. Hendro akan dibimbing oleh anak ketua suku yang juga bisa berinteraksi dengan kami. Sementara aku dibimbing oleh kepala suku yang bermana Odisson, kupanggil Odie. Odie adalah nama anjing di film Garfield .Tapi tidak masalah selama Odie senang dipanggil Odie.
“Ati-ati ri, perasaan gue gak enak,” teriak Hendro.
Kulihat kebodohan si Hendro dari jauh.Dia memainkan laptop di sela kesempitan.Aku membuat teori mengapa dia main laptop.Dia ingin memamerkan laptopnya.Kukatakan begitu karena Hendro dikerumuni orang-orang. Mungkin mereka akan foto bersama dan disebarkan di Facebook.  Entahlah apa yang mereka lakukan.
Aku bersama Odie pergi menuju tempat pengukiran emas.Perjalanan yang disaksikan oleh pohon-pohon rindang di pulau Papua.Semangatku membara untuk menelitipengukiran emas.Aku membayangkan jika karya ilmiahku dapat apresiasi tinggi, aku mengangkat Hendro dari musuh terdekat menjadi sahabat terdekat.
Saat langkah terakhir perjalanan, mataku berkilau melihat tumpukkan emas di dalam gudang suku Mamayo.Aku  mengubah pandangan 70º ke kiri. Di sanaterlihat emas yang telah diukir ditata rapih. Aku membayangkan jika tanda permusuhanku dengan Hendro terukir disana.Tanda persahabatan yang takkan pernah karatan.
“Hery, ayo ikuti beta.”Odie mengajakku ke tempat pertama.
Tahap demi tahan aku perhatikan.Tidak sedikitpun hal penting lupa aku catat dan tidak lupa ku gelontorkan puluhan pertanyaan.Teknik tradisional tapi dipenuhi unsur seni yang sangat menawan.Mungkin aku berbakat menjadi penerus “Jejak si Gundul” atau pemeran “Laptop si Unyil” versi anak kuliahan.
Pagi buta berubah jadi senja.Perjalanan pulang kami diselingi dengan atraksi mahatari tenggelam yang kuintip di sela-sela hutan Papua.Satu lagi pemandangan indah ciptaan Tuhan selain seorang wanita di Universitasku.Sayang, dia bukan di kampusku.
Sampailah kami di tempat tinggal sementara.Aku ingin menceritakan semua ini dengan Hendro.Aku mencarinya.Aku tak percaya Hendro sedang menangis di pinggiran pohon.Aku begitu geli melihatnya.
“Hahaha. Ngakak liat lu, napa lu?”Aku mendekatinya dan meledeknya..
“Ah elah apaan sih lu.” Hendro kaget dan langsung mengusap air matanya.
“Hahaha.Mao ngeles apa lagi?”
“Gara-gara lu nih. Lu tau apa adat terakhir? Gue disuruh nangkep uler!”
“Akh lebay banget deh, gitu aja nangis.”
“Bukan itu masalahnya.Uler itu pengen nyerang gue.Akhirnya, laptop gue yang susah lagi masuk ke tas dipake orang suku itu untuk getok ulernya sampe mati, juga laptopnya.”
“Hahaha.Makanya ati-ati.Pantes,perasaan gua gak enak. Yaudah, gue janji laptop lu bakal balik. Jangan nangis, lu kan musuh gue.” Aku menenangkan Hendro.
Setelah aku telah meneliti teknik mengukir emas ala suku Mamayo, aku memutuskan untuk belajar adat istiadat sukuMamayo.Setelah aku menenangkannya, Hendro juga setuju untuk menetap disini lebih lama lagi.
Dari terang sampai gelap kami lewati selama tujuh kali di pedalaman Papua.Kulihat wibawa mereka di siang hari dan senyuman mereka di malam hari.Kebersamaan mereka dengan sesama, dan juga alam membuatku buta.Seakan-akan mereka adalah satu kesatuan di dalam sistem.Aku percaya, aku terbuat dari tanah dan akan kembali menyatu dengan tanah.
Seminggu yang terasa dua hari membuatku tidak bisa lepas dari sini.Bahkan kami seperti telah melupakan hobi yang aku kira abadi.  Hobi kami disini hanyalah membuat perangkap burung, memanjat pohon, tertawa bersama saat makan sate ikan di depan api unggun pada malam hari, dan masih banyak lainnya. Minggu ini Hendro benar-benar menjadi  sahabat dekatku, bukan musuh dekatku.
Hari ini hari terakhir kami bersama di suku Mamayo. Hendro melakukan aktivitasku di hari pertama, yaitu belajar teknik mengukir emas setelah merengek sambil berlutut minta izin dengan Odie, manusia galak yang jadi jinak. Sementara aku berlajan-jalan sambil memanjakkan mata di hutan Papua bersama anggota suku Mamayo.
Udara membawaku keliling hutan yang rindang.Aku dan mereka berjalan-jalan sambil bernyanyi lagu khas Papua, Apuse dan juga Naik-naik ke Puncak Gunung walaupun sebenarnya kami berjalan-jalan di hutan.
Tapi, pemandangan kurang menyenangkan kulihat dari kejauhan menjelang senja.Beberapa orang berpakaian modern dilengkapi mobil garuk.Aku mendekat dan mendengar sedikit percakapan mereka di balik pohon.Mereka ingin menggali emas disini.Para anggota suku Mamayo ingin menyerang mereka, tapi kuhentikan.Aku memberi kode untuk balik dan melaporkannya ke Odie.
Aku berlari hingga sepuluh meter sebelum sampai di rumah, kami ketemu Hendro dan Odie yang santai sedang jalanpulang. Hendro melihatku lalu dia langsung menyapa,”Wei ri, gue tadi  ngukir emas dong, ukirannya bagus banget. Trus Odie ngebolehin gue bawa pulang emasnya.”
“Masa, mana mungkin lu bisa ngukir emas itu dalam sehari.”
“Bisa lah, kan yang dikasih emas gue cuma segede HP.”
“Cuma segede HP? Buset itu mah cukup kali tuk beli  laptop baru. Coba gua liat emas ukiran lu?” Aku penasaran ingin lihat emas ukiran Hendro.
“Gak, ini emas gak bakal gue jual, trus gak ada yang boleh liat emas ini!”
“Pelit lu! Eh ngomongin emasnya ntar aja, gua pengen ngomong sama Odie.”
“Kau tergesa-gesa.Ada apa?”Odie terlihat begitu penasaran.
“Odie temanku, aku melihat ada manusia membawa senjata .Dia sepertinya ingin emas dari sini.”Hanya aku dan Hendro yang memanggil kepala suku seperti itu.
“Hah? Itu tidak bisa dibiarkan.Kita harus siap-siap menyerang besok.Potong leher setiap orang ingin merusak tanah kami.”Odie langsung pergi ke tempat tinggal dan mengumumkan bahwa besok pagi untuk siap-siap perang.
Apa daya, aku tidak bisa membujuknya dengan jalan damai. Yang kulihat hanyalah tombak, panah, serta  beberapa senjata tradisional mereka siapkan untuk besok. Aku melihat mata Hendro penuh keresahan.Semua keadaan menjadi terbalik.Semua hal yang indah berubah jadi penuh gelisah.
Pagi pukul satu, semua orang sedang tidur pulas.Aku bersiap pergi menuju tempat mereka.Aku ingin kedamaian yang tercipta.Ketika aku ingin keluar pagar, aku kaget Hendro muncul di balik pohon.
“Ngapain lu malem-malem disiniMisi KSS udah selesai.Lagipula itu singkatanya salah.Mendingan lu tidur gih Bukan waktunya berselisih,” aku berkata.
“Gak usah sok pahlawan.Kalo lu mati gimana?”
“Pahlawan gak perlu kuat, beribawa dan selalu menang. Kadang dia harus kayak gua, berprinsip mati adalah takdir.”Kami diam sejenak.
“Yaudah pahlawan, gue cuma pengen bilang makasih lu udah ngajak gue kesini.Ternyata, yang hitam gak selamanya buruk, gue belum liat putih di dalamnya.”
Akupun berjalan melewati Hendro. Lalu aku berkata,”Oya, alesan gue hidup sama mati di dunia, karena gue dan dunia satu-kesatuan. Gue cuma ingin ngelindungin paru-paru dunia.Trus satu lagi.  Dro, Happy Birthday.” Aku lari menuju tempat itu di saat kami ulang tahun.Dan sampailah aku disana.
Aku bicara dengan dalangnya. Aku mengatakan bahwa akan terjadi perang jika mereka tidak menghentikan semuanya, tapi mereka menolak. Aku tetap memaksa mereka untuk menghentikan perbuatan mereka, tapi perdebatan tidak berujung perdamaian.Justru aku diikat di batang pohon.Situasi semakin membuatku bingung.
“Udah bos, daripada tambah ngrepotin, lebih baikbunuh aja!”Aku sangat takut.Aku ingin lepas dari sini, tapi tali ini mengikat begitu kuat.
“Jangan!Jangan ada yang boleh musuhan sama musuh gue!”Hendro! Mataku seketika melotot melihat Hendro datang kesini.
“Ngapain lu kesini, gue bilang misi udah selesai!”
“Gak, gue kesini cuma pengen bilang.KSS artinya bukan Kapla Start Sensation. Tapi, Kita, Sahabat, Selamanya!”Hendro tersenyum kepadaku.
Aku terkejut dengan ucapan Hendro.Hendro mengeluarkan golok dari belakang celana. Dia berjalan perlahan kepadaku sambil menodongkannya kepada orang lain. Dia melepaskanku dari ikatan.Hendro telah menepati janjinya waktu itu.
Belum berakhir, seseorang dari mereka menodongkan pistol.Kami mengangkat tangan kami.Aku memberi kode kepada Hendro untuk berpencar dan sembunyi di balik pohon.Dor! Pistol berbunyi setelah kami berpencar.Kami bermain petak umpet pindah dari pohon ke pohon.Beberapa peluru diluncurkan tapi tidak ada yang mengenai kami dan itu cukup membuat mereka geram.
“Cukup!Sekarang kalian tidak bisa ngumpet!”Seseorang teriak.
Kulihat dibalik pohon, mereka mengambil sesuatu dari mobil garuknya.Dia melemparkan sesuatu secara sembarangan.Duarr! Mereka melemparkan bom.Pohon-pohon rusak dan tumbang.Aku memutuskan keluar dari persembunyian.Tapi Hendro juga keluar dari persembunyian.Hendro yang membawa golok dilemparkan bom terlebih dahulu. Duarr! Sebuah pohon jatuh menimpa mobil garuk. Sementara Hendro berhasil  menghindar dari bom, tapi kakinya tersangkut batang pohon. Sebuah pohon jatuh lagi, dan,”Hendro!”Aku menghampiri pohon yang meninpa Hendro.
Kulihat Odie dan teman-teman datang..Para penghancur hutan kabur. Beberapa orang suku Mamayo mengejarnya. Beberapa lagi membantuku mengangkat pohon.Hendro terlihat lemas dengan kepala yang berlumur darah.
“Udah Ri, gue kesini cuma pengen kasih hadiah ultah lu nih.” Hendro memberikanku ukiran emas yang dia buat.Diukir gambar 2 anak kecil sedang berpegang tangan.Diatasnya terdapat tulisan KSS dan dibawahnya diukir huruf H.
“Jangan nangis, lu kan musuh gue.” Dengan lemah Hendro mengulang perkataanku.Terasa sesak dihatiku, ada air mata yang tak bisa kutahan. Aku berkata, ”Dro, maafin gua. Gua jadi pemimpin selalu nyusahin lu.”
“KSS.Gak usah ngomong lagi.La ilaha illallah.” Aku tidak percaya.Aku mencoba teriak, tapi air mata ini cukup untuk mengekspresikannya.
Ada yang memukul dihatiku. Hatiku hanya bisa berkata,”Sori, gua gak sanggup anterin lu sampai pintu terakhir dunia dengan kalimat itu. Biar doa gua yang nganterin lu ke surga.”

Aku pulang dengan tanda persahabatan yang diukir di emas.Persahabatan yang takkan pernah karatan. Kubuat karya ilmiah ini tanpa dia, tapi senyum dan kengototanyaakan tetap ada di hatiku.Karya ilmiah ini menjadi karya ilmiah terbaik.Dan karya ilmiah ini jadi juara lomba tingkat Nasional.Terima kasih, musuh dan sahabat, Hendro.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar