jika menulis adalah sebuah Hobi, maka tak perlu alasan lagi mengapa saya menulis

Senin, 04 Juli 2016

Cerpen: Cinta Pertama Tak Akan Mati


 Tokoh Aku adalah seorang perempuan bernama Dwi.



Kata pepatah, cinta pertama adalah yang cinta paling dalam. Berharap, cinta pertama akan menjadi cinta terakhir. Mungkin itulah yang aku rasakan.  Namanya adalah Fadil. Orang yang pertama kali menyentuh hatiku. Sekarang, “the first” telah memiliki kekasih hatinya,  bahagia bersamanya. Akupun tidak pernah melihatnya lagi secara langsung.  Aku sendiri telah mempunyai pasangan. Walau begitu, Fadil yang ku sebut “the first” masih hidup di hati ku.

Dika namanya, lelaki yang kini bersamaku. Orang yang baik. Baik bukan hanya dengan aku saja. Dika bersifat dewasa bukan tipe pemaksa. Sabar terlihat saat menghadapi emosiku. Dilihat dari wajah, bisa dibilang lumayan tampan.  Kepribadian dasarnya, dika itu lebih condong pendiam dan lebih banyak mengekspresikannya lewat tingah laku dan terkadang Dika melakukan hal-hal aneh.

Sebenernya, Dika tipe pasangan yang ideal menurut pemikiranku.  Tapi berbeda dengan hati ini, yang masih diisi olehnya, Fadil. Setiap aku bersanding dengan Dika, yang kuberikan hanyalah senyum hampa. Kebahagiaan hanyalah akting. Yang nyata hanya emosi dan sifat sinis ku.

Aku benci, saat Dika memajang fotoku dengan dirinya di Facebook, Line, ataupun BBM. Aku bilang itu norak, tapi Dika tetap saja memajang foto selfie itu. Aku kesal, saat kami makan es krim. Dan suatu momen saat selesai makan es krim.
“Dik, buang aja kenapa batang esnya, jorok tau hiiiii!”
“Gak apa, biar jadi kenangan. Hehehe”
“Heh.. terserah deh dil, eh maksunya dik”, aku salah mengucap. Lantas membuat Dika terdiam.

Seringkali aku salah mengucap nama fadil. Wajar saja, yang terbayang adalah wajah Fadil. Fadil, walaupun dia sering buatku menangis dan sosoknya tak pernah ku lihat lagi, mengapa masih ku ingat hal- hal kecil bersamamu. Mengapa khayalku masih bersama Fadil. Mengapa harus merindui itu.

Maaf Dika, yang di hati Dwi  masih diisi seseorang, bukan kamu. Ingin sekali aku jujur mengucap hal itu,tapi aku takut menyakitinya. Dika terlalu baik buatku.

Aku hanya bisa sendiri di kamar ini, bersama tangisan. Bertanya dalam hati, mengapa hati tidak bisa dipaksakan? Ingin menjerit karena dilemma ini.  Aku bersama Dika, mengapa hanya ada drama yang tidak bisa membuatku bahagia.

Hari demi hari, masih tentang Fadil walau ragaku bersama Dika. Saai itu, mulai ada patahan hubungan yang terjalin bersama Dika. Pada malam hari di sebuah kafe outdoor yang cukup tenang, bersama angin dan lampu-lampu malam. Dan lagi, aku tidak sengaja memanggil namanya dengan sebutan Fadil. Lantas, ekspresi kecewa dan sedih dipancarkan Dika. Kali ini memang sangat berbeda, terlihat matanya sayu, menceritakan kekecewaan yang begitu dalam.

Malam itu, Dika mengantarkan aku pulang dengan motor bebeknya. Tidak ada kalimat yang terucap selama perjalanan pulang. Tepat di depan gerbang, Dika mengeluarkan suaranya. Dia bertanya saat suasana cukup canggung.
 “Dwi, sebenernya gimana sih perasaan kamu?”  Inilah momen yang begitu menguras perasaan.  Aku tertunduk, lalu kukatakan yang sebenernya.
“Dwi… belum bisa ngelupain dia. Maaf… dik. Dia, masih dihati Dwi,” dengan pelan, aku tidak berani menatap matanya.
“Ohhhh. Gitu ya. Yaudah, udah malem. Masuk sana.”
“Yaudah Dik, makasih ya Dik. Ati-ati,” Lalu perlahan, aku jalan masuk membuka pintu rumah.
“Dwi,”  Dika memanggilku sebelum aku masuk.
“Mendingan minggu-minggu ini, kita gak usah ketemuan aja. Trus gausah hubungi Dika dulu” lanjut Dika dengan suara pelan.
Perkataanya membuatku terdiam sementara.
“Memang kenapa dik. Kamu marah ya?”
“Aku gak bisa marah sama kamu.  Aku pengen kasih waktu kamu berfikir. Kamu mau pilih aku apa masa lalu yang gak jelas kemana,” Lalu Dika lekas pergi dengan motornya. Dan aku hanya terdiam.
Hari berganti hari. Dia serius dengan katanya. Dika tidak pernah menghubungiku. Dalam hati aku menanyakan kabarnya. Sekedar tanya kabar lewat SMS, telepon ataupun lewat Line. Tapi detik, menit, jam,  bahkan hari telah terlewat tanpa ada jawaban. Foto profil tentang kami telah menjadi kenangan. Sudah tidak ada lagi foto-foto itu di akun media sosialnya. Aku merasa kehilangannya setelah mengabaikanya.  Dan benar saja, Dika yang selalu berada di dalam fikiranku akhir-akhir ini.

“Paket!”, pengirim paket datang mengetok rumahku. Sebuah paket untukku dari Dika Saputra. Hatiku bergetar .Kubawa masuk ke kamar. Kubuka paket tersebut dengan antusias. Kulihat isinya, ternyata terdapat 2 batang es krim yang masih disimpannya.  Lalu juga terdapat selembar kertas. Ternyata itu adalah surat yang berisi tulisan darinya.

“Dwi, saya pernah merasakan adanya cinta pertama. Lalu memilihnya sebagai orang terbaik. Berkhayal ,ia menjadi pasangan hidup kelak di masa depan, sampai menua.
 Tapi saat orang yang paling dalam menyentuh hati pergi, dan kenyataanya dia bukanlah yang terbaik. Saya tahu, hanya pedih yang terasa. Khayalan hidup bersamanya hanyalah dongeng. Harus menanggung semua kenangan tentangnya di saat senang maupun sedih.
Tapi yang saya yakini, hidup belum berakhir. Seseorang yang terbaik akan datang. Seseorang yang akan menghapus rasa sakit ini. Dan saat kamu mengisi, saya berjanji dalam hati, untuk setia menyayangimu. Melupakan masa lalu itu.  Dan menghapus sebuah harapan yang tak kunjung datang.
Tapi sepertinya saya salah. Saya tahu perasaanmu terhadap first love, itulah sebab saya memilihmu jadi seseorang yang terbaik.  Tapi begitu sulit membalikkan hati seseorang. Jujur, saya ingin menghapus masa lalumu. Walau cinta pertama sulit untuk hilang, tapi saya ingin jadi yang terakhir yang menetap di hati itu.
Kalau kamu masih belum bisa juga melupakannya, maka biarkan saya melepaskanmu. Ga apa kok. Biarkan saya mendapatkan wanita yang menerima saya, yang terbaik buat diri saya. Mungkin aku bukan yang terbaik buat kamu. ”

Itulah kalimat dari Dika.  Dika yang pendiam itu, kini aku paham bagaimana isi hatinya. Setiap kalimatnya dalam surat itu tertuang begitu lembut dan tulus. Sontak airmata ini menetes karna kebodohanku.   
Aku merasa, tidak rela jika orang sebaik Dika pergi. Aku takut kehilangannya. Mungkin aku orang yang terbodoh jika ada orang lain yang merebutnya dariku. Di hatiku sekarang bukan tentang Fadil. Aku hanya peduli tentang Dika.    
Kutelpon dia, tapi tetap tidak diangkat. Lalu kuputuskan untuk membuka alamatnya, lalu pergi menuju rumahnya.
Sampai ke rumah halaman Dika, aku melihat seseorang lelaki memegang gitar sedang dikelilingi banyak anak-anak kecil. Dia sedang mengiringi lagu yang dinyanyikan anak-anak kecil itu. Dika terkejut melihatku yang muncul secara tiba-tiba. Dika langung mendekatiku menjauhi anak-anak tersebut.
“Dwi? Kamu ngapain?”
“Dik, kamu sih kemana aja!”
“Aku gak kemana-mana. Aku cuma berhenti berharap .”
Dengar kata tersebut, membuat jantungku panas.
“Dik, dengerin aku. Maafin aku Dik. Aku, mau kamu, jadi yang terakhir.”
Dengan wajah saling bertatap mata penuh harap. Tatapan yang begitu dalam antara kami. Dalam diam beberapa detik, melihat wajahnya yang begitu datar. Beserta cahaya yang terpancar dimatanya. Dika membuka obrolan kembali.
“Dwi, kamu, menghidupkan harapan itu kembali”

Itulah awal kisah indah ini.  Tidak ada jaminan yang hadir pertama akan menjadi terakhir. Dan apa yang kita khayalkan, tidak akan selalu berjalan semestinya. Tapi yang terbaik, pasti akan hadir, walau aku telat menyadarinya.

Ya wajar. Aku cenderung mengejar hal yang tidak dapat kuraih. Dan tidak menghargai apa yang aku punyai. Dan saat seseorang hendak pergi. Aku tak rela melepasnya.


Bagiku, first love telah usai. First love, memang tak terlupakan dan aku jadikan sebagai kenangan, hanya sebatas dalam memori. Aku besyukur mengalaminya. Karna dengan itu, aku tahu aku tahu arti dari Sepi dan gembira. Dan sekarang aku bahagia. Hatiku telah dimilinya, The last love.  
Share:

0 komentar:

Posting Komentar