Tokoh Aku adalah seorang perempuan bernama
Dwi.
Kata pepatah, cinta pertama
adalah yang cinta paling dalam. Berharap, cinta pertama akan menjadi cinta
terakhir. Mungkin itulah yang aku rasakan.
Namanya adalah Fadil. Orang yang pertama kali menyentuh hatiku. Sekarang,
“the first” telah memiliki kekasih hatinya,
bahagia bersamanya. Akupun tidak pernah melihatnya lagi secara langsung. Aku sendiri telah mempunyai pasangan. Walau
begitu, Fadil yang ku sebut “the first”
masih hidup di hati ku.
Dika namanya, lelaki yang kini
bersamaku. Orang yang baik. Baik bukan hanya dengan aku saja. Dika bersifat dewasa
bukan tipe pemaksa. Sabar terlihat saat menghadapi emosiku. Dilihat dari wajah,
bisa dibilang lumayan tampan. Kepribadian
dasarnya, dika itu lebih condong pendiam dan lebih banyak mengekspresikannya
lewat tingah laku dan terkadang Dika melakukan hal-hal aneh.
Sebenernya, Dika tipe pasangan
yang ideal menurut pemikiranku. Tapi
berbeda dengan hati ini, yang masih diisi olehnya, Fadil. Setiap aku bersanding
dengan Dika, yang kuberikan hanyalah senyum hampa. Kebahagiaan hanyalah akting.
Yang nyata hanya emosi dan sifat sinis ku.
Aku benci, saat Dika memajang
fotoku dengan dirinya di Facebook, Line, ataupun BBM. Aku bilang itu norak,
tapi Dika tetap saja memajang foto selfie itu. Aku kesal, saat kami makan es
krim. Dan suatu momen saat selesai makan es krim.
“Dik, buang aja kenapa batang
esnya, jorok tau hiiiii!”
“Gak apa, biar jadi kenangan. Hehehe”
“Heh.. terserah deh dil, eh
maksunya dik”, aku salah mengucap. Lantas membuat Dika terdiam.
Seringkali aku salah mengucap
nama fadil. Wajar saja, yang terbayang adalah wajah Fadil. Fadil, walaupun dia
sering buatku menangis dan sosoknya tak pernah ku lihat lagi, mengapa masih ku ingat
hal- hal kecil bersamamu. Mengapa khayalku masih bersama Fadil. Mengapa harus
merindui itu.
Maaf Dika, yang di hati Dwi masih diisi seseorang, bukan kamu. Ingin
sekali aku jujur mengucap hal itu,tapi aku takut menyakitinya. Dika terlalu
baik buatku.
Aku hanya bisa sendiri di kamar
ini, bersama tangisan. Bertanya dalam hati, mengapa hati tidak bisa dipaksakan?
Ingin menjerit karena dilemma ini. Aku
bersama Dika, mengapa hanya ada drama yang tidak bisa membuatku bahagia.
Hari demi hari, masih tentang Fadil
walau ragaku bersama Dika. Saai itu, mulai ada patahan hubungan yang terjalin bersama
Dika. Pada malam hari di sebuah kafe outdoor yang cukup tenang, bersama angin
dan lampu-lampu malam. Dan lagi, aku tidak sengaja memanggil namanya dengan
sebutan Fadil. Lantas, ekspresi kecewa dan sedih dipancarkan Dika. Kali ini
memang sangat berbeda, terlihat matanya sayu, menceritakan kekecewaan yang
begitu dalam.
Malam itu, Dika mengantarkan aku
pulang dengan motor bebeknya. Tidak ada kalimat yang terucap selama perjalanan
pulang. Tepat di depan gerbang, Dika mengeluarkan suaranya. Dia bertanya saat
suasana cukup canggung.
“Dwi, sebenernya gimana sih perasaan kamu?” Inilah momen yang begitu menguras
perasaan. Aku tertunduk, lalu kukatakan
yang sebenernya.
“Dwi… belum bisa ngelupain dia. Maaf…
dik. Dia, masih dihati Dwi,” dengan pelan, aku tidak berani menatap matanya.
“Ohhhh. Gitu ya. Yaudah, udah
malem. Masuk sana.”
“Yaudah Dik, makasih ya Dik.
Ati-ati,” Lalu perlahan, aku jalan masuk membuka pintu rumah.
“Dwi,” Dika memanggilku sebelum aku masuk.
“Mendingan minggu-minggu ini,
kita gak usah ketemuan aja. Trus gausah hubungi Dika dulu” lanjut Dika dengan
suara pelan.
Perkataanya membuatku terdiam
sementara.
“Memang kenapa dik. Kamu marah
ya?”
“Aku gak bisa marah sama
kamu. Aku pengen kasih waktu kamu berfikir.
Kamu mau pilih aku apa masa lalu yang gak jelas kemana,” Lalu Dika lekas pergi
dengan motornya. Dan aku hanya terdiam.
Hari berganti hari. Dia serius
dengan katanya. Dika tidak pernah menghubungiku. Dalam hati aku menanyakan kabarnya.
Sekedar tanya kabar lewat SMS, telepon ataupun lewat Line. Tapi detik, menit,
jam, bahkan hari telah terlewat tanpa
ada jawaban. Foto profil tentang kami telah menjadi kenangan. Sudah tidak ada
lagi foto-foto itu di akun media sosialnya. Aku merasa kehilangannya setelah
mengabaikanya. Dan benar saja, Dika yang
selalu berada di dalam fikiranku akhir-akhir ini.
“Paket!”, pengirim paket datang
mengetok rumahku. Sebuah paket untukku dari Dika Saputra. Hatiku bergetar .Kubawa
masuk ke kamar. Kubuka paket tersebut dengan antusias. Kulihat isinya, ternyata
terdapat 2 batang es krim yang masih disimpannya. Lalu juga terdapat selembar kertas. Ternyata
itu adalah surat yang berisi tulisan darinya.
“Dwi,
saya pernah merasakan adanya cinta pertama. Lalu memilihnya sebagai orang
terbaik. Berkhayal ,ia menjadi pasangan hidup kelak di masa depan, sampai
menua.
Tapi saat orang yang paling dalam menyentuh
hati pergi, dan kenyataanya dia bukanlah yang terbaik. Saya tahu, hanya pedih
yang terasa. Khayalan hidup bersamanya hanyalah dongeng. Harus menanggung semua
kenangan tentangnya di saat senang maupun sedih.
Tapi
yang saya yakini, hidup belum berakhir. Seseorang yang terbaik akan datang. Seseorang
yang akan menghapus rasa sakit ini. Dan saat kamu mengisi, saya berjanji dalam
hati, untuk setia menyayangimu. Melupakan masa lalu itu. Dan menghapus sebuah harapan yang tak kunjung
datang.
Tapi
sepertinya saya salah. Saya tahu perasaanmu terhadap first love, itulah sebab
saya memilihmu jadi seseorang yang terbaik. Tapi begitu sulit membalikkan hati seseorang.
Jujur, saya ingin menghapus masa lalumu. Walau cinta pertama sulit untuk
hilang, tapi saya ingin jadi yang terakhir yang menetap di hati itu.
Kalau
kamu masih belum bisa juga melupakannya, maka biarkan saya melepaskanmu. Ga apa
kok. Biarkan saya mendapatkan wanita yang menerima saya, yang terbaik buat diri
saya. Mungkin aku bukan yang terbaik buat kamu. ”
Itulah kalimat dari Dika. Dika yang pendiam itu, kini aku paham
bagaimana isi hatinya. Setiap kalimatnya dalam surat itu tertuang begitu lembut
dan tulus. Sontak airmata ini menetes karna kebodohanku.
Aku merasa, tidak rela jika orang
sebaik Dika pergi. Aku takut kehilangannya. Mungkin aku orang yang terbodoh
jika ada orang lain yang merebutnya dariku. Di hatiku sekarang bukan tentang
Fadil. Aku hanya peduli tentang Dika.
Kutelpon dia, tapi tetap tidak
diangkat. Lalu kuputuskan untuk membuka alamatnya, lalu pergi menuju rumahnya.
Sampai ke rumah halaman Dika, aku
melihat seseorang lelaki memegang gitar sedang dikelilingi banyak anak-anak kecil.
Dia sedang mengiringi lagu yang dinyanyikan anak-anak kecil itu. Dika terkejut
melihatku yang muncul secara tiba-tiba. Dika langung mendekatiku menjauhi
anak-anak tersebut.
“Dwi? Kamu ngapain?”
“Dik, kamu sih kemana aja!”
“Aku gak kemana-mana. Aku cuma
berhenti berharap .”
Dengar kata tersebut, membuat
jantungku panas.
“Dik, dengerin aku. Maafin aku
Dik. Aku, mau kamu, jadi yang terakhir.”
Dengan wajah saling bertatap mata
penuh harap. Tatapan yang begitu dalam antara kami. Dalam diam beberapa detik,
melihat wajahnya yang begitu datar. Beserta cahaya yang terpancar dimatanya.
Dika membuka obrolan kembali.
“Dwi, kamu, menghidupkan harapan
itu kembali”
Itulah awal kisah indah ini. Tidak ada jaminan yang hadir pertama akan
menjadi terakhir. Dan apa yang kita khayalkan, tidak akan selalu berjalan
semestinya. Tapi yang terbaik, pasti akan hadir, walau aku telat menyadarinya.
Ya wajar. Aku cenderung mengejar
hal yang tidak dapat kuraih. Dan tidak menghargai apa yang aku punyai. Dan saat
seseorang hendak pergi. Aku tak rela melepasnya.
Bagiku, first love telah usai.
First love, memang tak terlupakan dan aku jadikan sebagai kenangan, hanya
sebatas dalam memori. Aku besyukur mengalaminya. Karna dengan itu, aku tahu aku
tahu arti dari Sepi dan gembira. Dan sekarang aku bahagia. Hatiku telah
dimilinya, The last love.
0 komentar:
Posting Komentar