Mindset Satu Setengah Tahun yang Lalu
Pagi ini, saya jadi teringat ambisi
utama saya sekitar satu setengah tahun yang lalu, yaitu ambisi untuk masuk
Universitas ‘Impian’ yang saya impikan waktu itu.
Universitas yang menjadi rencana hidup selanjutnya setelah saya
sarjana, meningkatkan intensitas berdoa, tahajjud, dan dalam suatu sujud yang panjang
saya meminta agar dimasukkan pada Universitas Belanegara tersebut.
Jika saya masuk ke Universitas itu,
saya berjanji pada diri sendiri untuk berusaha berprinsip agama sentris (libatkan agama dalam setiap mengambil keputusan). Sambil kuliah, saya ingin belajar agama mengingat
dangkalnya ilmu saya tentang agama, dan mempelajari ilmu Remote Sensing
diniatkan sebagai ibadah. Lalu setelah lulus s2 nanti, saya ingin berkontribusi positif untuk Negara.
Impian yang terlalu tinggi sepertinya.
Selain itu, setelah lulus
kuliah s2, saya berambisi agar dapat kerja di tempat gaji yang besar yang
membuat saya dapat menabung hingga mempunyai rumah pribadi. Lalu saya dapat
dihormati orang-orang banyak karena derajat status sosial yang tinggi. Rumah tersebut
terdapat tempat untuk saya latihan pencak silat dan kalau bisa saya punya
lapangan yang luas agar bisa mendirikan tempat latihan. Lalu dapat mencetak
atlet-atlet berprestasinya PSHT. Hehe
Saya melakukan pendaftaran tes
masuk Universitas terseebut dengan modal ipk s1 pas-pasan ( 3,09) dan nilai UEPT 417. UEPT itu sama dengan percis
TOEFL mulai dari metode penilaian sampai komposisi soal. Yang membedakan hanya
lembaga pelaksana, UEPT itu pelaksananya
Unsoed sendiri.
Saya menyadari untuk masuk ke
tempat ‘impian’ tersebut harus belajar Inggrsis yang intensif. Singkatnya, dengan usaha dan doa akhirnya
sayapun lolos tes TOEFL, lanjut tes psikologi, tes wawancara, lalu selesai.
(cerita lengkap perjuangan untuk masuk Universitas Pertahanan).
Pagi ini saya sadar, saya
telah menjadi bagian dari Universitas yang pernah saya ‘impikan’ dulu. Saya masuk ke Universitas
yang saya jadikan doa-doa. Setelah Allah Meng-ACC doa saya, bagaimana kuliah
disana, senang? Biasa aja. Hehe. Seharusnya saya selalu sadar perjuangan dan
doa dulu, dan menjadi modal saya untuk selalu bersyukur dan mengurangi keluhan.
Merasa Paling Bodoh
Disini saya ketemu orang-orang luar
biasa dari berbagai macam background. Mulai dari peneliti senior di Kompas,
bisa dibilang beliau dosen yang menyamar jadi mahasiswa hehe. Ada yang habis s2
sudah dipanggil dosen s1nya untuk jadi dosen di kampusnya. Ada juga yang jadi
lulusan terbaik di kampusnya. Para TNI yang sudah banyak makan garam di
bidangnya, Master scopus, master desain grafis, master Software GIS, master
coding, master buat aplikasi dan lain-lain.
Sementara saya disini hanyalah
orang yang masih perlu banyak belajar. Saya merasa semua orang yang di prodi
ini lebih pintar dari saya. Tapi saya bersyukur, karena saya berada di
kelilingi orang-orang yang luar biasa. Saya tidak perlu berusaha untuk menjadi
lebih hebat dari mereka. Saya hanya perlu banyak-banyak belajar dari mereka.
Tak perlu bersaing tapi saling berbagi ilmu dan bekerja sama agar sama-sama
berkembang menjadi lebih baik.
AGHT: ASMARA
Setelah saya masuk ke sini, saya merasa dengan perlahan mindset itu memudar karena AGHT yang bergerak secepat dinamika kampus. Saya ingin fokus belajar, tapi ada aja Ancaman-ancaman
nyata yang membiaskan mindset tersebut. Salah satunya cerita tentang asmara.
Memikirkan kuliah dan asmara sekaligus bagi saya seperti meletakkan air dan api dan satu tempat. Api semangat untuk mencari ilmu akan diredam dengan hujan dimana tiap rintiknya, selalu merefleksikan wajahnya, hehe.
Tema tentang asmara adalah salah
satu tema cerita yang paling
menarik,tapi saya gak mau cerita banyak tentang hal ini setelah saya merasa gagal dalam hal ini.
Saat ingin fokus, ada
aja temen atau mentor yang selalu bahas suatu ibadah yang disebut ‘nikah’.
“Saya dulu nikah Cuma modal nekat gak punya
apa-apa2, tapi alhamdulillah ada aja rezeki yang gak kita duga-duga. Jadi
gausah takut untuk nikah” Mentor Mayor Laut Wahyu Kurniawan DP (2019) yang
menjadi teman sekamar saya.
Katanya agama sentris? Nikah kan bagian ibadah, harus dibahas dong mindsetnya gimana ?Udah, kita skip aja, haha. Intinya saya harus banyak-banyak berdoa, semoga Allah berikan kita jodoh yang
terbaik dimana jodoh tersebut sevisi, dan akan menjadi partner hidup kita. Lalu bersamanya bekerja sama untuk meraih surga juga ridho-Nya. Aamiin
Tambahan Quote dari dosen: kita
terlalu fokus mencintai hal yang istimewa, sehingga kita lupa untuk mencintai
hal-hal yang sederhana, seperti mencintai angin yang berhembus tiap pagi.
Modifikasi Mindset
Angin berhembus ke kanan ke kiri,
menggeser mindset sedikit demi sedikit ke suatu tempat entah lebih baik atau
lebih buruk.
Mindset saya pagi ini terlalu
banyak revisi sehinga tidak lagi identik dengan mindset sebelum masuk
Universitas ini.
Tapi satu hal, Agama
sentris. Saya ingin membentuk mindset
yang selaras mungkin dengan agama.
Hal yang sangat sulit dan menjadi
salah satu program jangka panjang, saya ingin membuang hasrat duniawi secara
perlahan. Itu artinya, keinginan duniawi kerja ditempat yang menghasilkan gaji
yang besar perlahan harus dihilangkan.
Pernah saya pusing memikirkan
setelah lulus nanti, saya bakal kerja dimana?
saya sendiri tidak mempunyai pengalaman kerja. Tapi Allah menjawab:
“Tak ada satupun yang bergerak di muka bumi kecuali Allah yang
menanggung rizkinya”(QS.Hud)
“yang aku khawatirkan bukanlah kemiskinan, namun saling berbangganya
kalian dengan harta”(HR.Ahmad), belum tahu derajat keshahihannya.
Sekarang, hilangkan rasa takut tak bisa mendapatkan pekerjaan, yang terpenting saya bisa menerapkan ilmu yang saya
dapatkan dan bermanfaat untuk banyak orang. Allah akan membukakan rezeki buat
mereka yang bekerja ikhlas.
Jika saya kerja nanti, saya ingin
kerja dengan ikhlas sebagai ibadah bukan untuk mengejar status sosial. Walau sebenernya posisi status itu penting, kita gak punya wewenang mengajar mahasiswa kalo status kita belum resmi jadi dosen. Kita tidak punya wewenang merubah kebijakan Fakultas kalau status kita bukan sebagai Dekan. Jadi gimana? saya akan jalanin kerja tanpa mengharap status sosial, jika Allah memberikan rezeki berupa derajat status yang lebih tinggi, maka itu amanah yang datang dari Allah bukan karena kehebatan kita.
Kerja
sebagai ibadah artinya kerja karena mengharapkan pahala dari Allah. Cara
mendapatkan pahala dari pekerjaan yaitu kita
dapat bermanfaat untuk orang banyak sehingga menghasilkan pahala.Cara yang elegan untuk mendapat pahala dalam pekerjaan. Saya terima
berapapun besar rezeki yang saya dapatkan.
Kuliah & Kerja Ikhlas
Walaupun begitu, ancaman-ancaman nyata
dan potensial selalu ada dan menghasilkan penyakit hati yang disebut ujub. Salah
satu musuh terbesar saya pribadi adalah rasa riya ataupun ingin diakui. Saya
takut tiap amalan yang saya kerjakan itu semata-mata bukan untuk mengharapkan
ridho Allah tapi karna ingin orang lain tahu dan mengakui bahwa kita telah berbuat
manfaat.
Saya ingin membuang rasa ingin diakui.
Dari hal tersebut, saya ingin
memberikan manfaat untuk orang banyak tanpa harus diketahui orang-orang banyak
tersebut.
Lalu di Universitas ini, saya
ingin belajar bukan untuk IPK dan bukan pula menjadi rangking 1, tapi untuk
ilmu. Ilmu dunia yang diproyeksikan untuk ibadah. Belajar untuk menuntut ilmu,
menuntut ilmu sejalan dengan hadits , sehingga saya dapat menarik belajar semata-mata
sebagai ajang beribadah kepadanya.
LALU APAKAH MINDSET INI AKAN BERJALAN? Atau berevolusi lagi?
0 komentar:
Posting Komentar